Takezaki
Suenaga
Sebuah contoh yang baik tentang cara seorang Samurai “mengangkat namanya” ialah dengan
mempertontonkan keberanian menghadapi kematian yang terjadi saat dua kali
invasi Mongol pada 1274 dan 1281, dua peristiwa yang tiada duanya mengorbankan
jiwa bangsa Jepang, karena beberapa alasan. Orang Mongol bertarung secara
kotor, menggunakan granat peledak yang dilemparkan dengan katapel dan sama
sekali tidak mempedulikan samurai yang mengharapkan musuh yang pantas untuk
terlibat dalam pertarungan tunggal. Lawan yang mengerikan ini seharusnya sudah
menyapu habis para samurai. Namun tidak karena dua keberuntungan, dua kali
serangan badai yang segera dianggap bangsa Jepang sebagai campur tangan Ilahi.
Menghadang kedua pendaratan besar-besaran armada
Mongol-China di Teluk Hakata di Jepang barat daya, ialah seorang prajurit muda
dari Higo (Sekarang wilayah Kumamoto, tepat di sebelah utara Satsuma, dan tidak
jauh dari teluk Hakata). Di kemudian hari, dia menggunakan sebagian kekayaan
yang ia kumpulkan untuk membiayai serangkaian lukisan yang mencatat tindakan
heroiknya. Lukisan-lukisan ini kemudian disatukan, bersama dengan kumpulan
surat, doa, maklumat, dan laporan pertemuan yang berperan sebagai penjelasan
terhadap lukisan. Semua itu disusun hingga menjadi sesuatu yang disebut
“Gulungan Penyerbuan” (Invasion Scrolls).
Namanya Takezaki
Suenaga, dan inilah ceritanya yang penuh kesombongan.
Berusia 29 tahun saat invasi 1274, Suenaga selamat dari
beberapa perkelahian kecil ketika bangsa Mongol berhasil menerobos garis pantai
dan maju beberapa mil ke pedalaman sebelum badai yang kian dekat memaksa mereka
mundur ke perahu mereka. Tujuh tahun kemudian ia kembali, dan tidak sabar
membuktikan diri lagi. Kali ini bangsa Jepang lebih siap, dengan membangun
tembok sepanjang teluk Hakata yang mungkin cukup untuk menahan bangsa Mongol
hanya sampai di pantai. Suenaga tiba di pantai menunggang kuda lengkap dengan
pakaian kebesarannya, tapi musuh masuh berada jauh di lautan. Ia ingin sekali
menghabisi mereka. Tanpa minat sama sekali untuk berlaku sebagai anggota tim
dan dengan ketidakpedulian yang megagumkan terhadap perintah, seluruh
perhatiannya terpusat pada tindakan gagah berani tanpa mengacuhkan orang lain.
“Aku tidak bisa
bertarung dengan mereka pada masa genting ini tanpa kapal!”teriaknya.
Komandannya, Gota Goro, terlihat acuh tak acuh terhadap
kekecewaannya. “Kalau kau tidak punya kapal, tidak ada yang bisa dilakukan.”
Bagaimanapun, Suenaga bukanlah satu satunya yang tidak
sabar, dan seorang prajurit yang juga bersemangat berkata,”Mari kita cari
sebuah kapal yang baik diantara kapal-kapal rusak di pelabuhan dan mengusir
para perompak itu!”
“Benar.”, jawab
Suenaga. “Para tentara itu pasti paskan infanteri dan perahu mereka pasti layak
berlayar. Aku ingin menghabisi setidaknya satu orang dari mereka!”
Jadi, bersama dua orang teman, Suenaga mencari sebuah
perahu untuk mengantarkan mereka kepada para penyerbu itu. Namun mereka tidak
menemukan perahu dan hamper menyerah hingga sebuah perahu perang Jepang muncul.
Perahu itu tidak terlalu besar, panjangnya hanya sekitar delapan meter, dan
dengan sepuluh atau sebelas orang sudah berada di dalamnya.Jadi, meskipun
berguna untuk berputar putar di teluk, tapi tidak akan banyak berguna di laut
terbuka. Gota Goro mengenalinya sebagai milik Adachi Yasumori, seorang pejabat
senior, dan mengirim Suenaga dan temannya sebagai utusan. Mereka mendayung
dalam sebuah sampan kecil, dan ketika sampai dalam, jarak pendengaran, Suenaga
yang berdiri terhuyung di haluan, berteriak bahwa ia mendapat perintah untuk
menaiki perahu berikutnya dan bertempur. Kemudian tanpa menunggu izin, ia
meompat ke perahu perang itu, membuat marah sang kapten kapal,Kotabe yang
menyuruhnya pergi.
“Ini perahu Adachi!
Hanya anggota pasukannya yang dapat menaiki kapal ini! Keluar dari perahu ini!”
Suenaga sedang tidak ingin patuh,”Dalam hal penting
seperti ini aku ingin membantu tuanku. Karena baru saja sampai di perahu ini,
aku tidak akan turun dan menunggu perahu lain yang mugkin saja tidak pernah
datang.”
Tetapi sang kapten bersikeras,”Adalah suatu penghinaan
jika kau tidak meninggalkan kapal saat kau diperintahkan pergi.”
Tak diragukan lagi sembari bergumam penuh kemarahan,
Suenaga mengalah, kembali ke sampan kecilnya, dan mendayung bersama dua
rekannya. Tak lama kemudian mereka berpapasan dengan perahu perang yang lain,
kali ini milik seorang pejabat bernama Takamasa. Sekali kagi Suenaga
menjalankan sampannya. Kali ini Suenaga tidak mebuang-buang waktu untuk
berdebat tapi langsung berbohong.
“Aku sedang melaksanakan
perintah rahasia. Biarkan aku naik ke perahu.”
Teriakan datang dari perhau Takamasa: Kau tidak mendapat
perintah! Pergi dari sini! Tidak ada tempat untuk kalian semua!
Dengan tak tahu malu Suenaga mengulangi
permintaannya,”Karena aku prajurit berpangkat tinggi,” ia membual. “Biarkan aku
sendiri yang naik ke perahumu.”
Tipuannya itu berhasil,”Kami sedang berangkat untuk
bertempur,” terdengar jawaban jengkel. “Mengapa kau harus ribut-ribut? Ayo
naiklah!”
Dia tak perlu diminta dua kali. Tidak hanya meninggalkan
dua rekannya, dia mengambil pelindung tulang kering milik salah satu dari
mereka untuk dijadikan helm darurat. Ia mengabaikan teriakan marah mereka.
“Jalan busur dan panah adalah melakukan apa yang layak mendapat perhargaan!”
demikian ia menjelaskan. Perhatikan, bukan ‘Jalan Pedang’, sikapnya masih
dikendalikan oleh busur dan tanto,
belati. “Tanpa seorang pengikut pun aku siap menghadapi musuh.”
Kini ia mulai menasihati Takamasa, mendesaknya untuk
menggunakan kait pengikat untuk medekati musuh. Mereka tidak akan menyerah
sampai kita menaiki kapal mereka, debatnya,”Setelah kita mengait mereka, tikam
mereka dengan menusuk ke tempat persendian di baju zirah mereka.” Awak kapal
Takamasa tidak bersenjata lengkap. Begitu juga Suenaga, dengan helm daruratnya
itu. Tapi hal ini tidak menghentikan barang sedikit pun. Bersama lima rekan
barunyaia menemukan sampan lain yang lebar dan menyerang salah satu kapal
Mongol yang berukuran kecil, sekitar sepuluh meter panjangnya, memuat tujuh
awak kapal Mongol dan sepasang perwira China. Sebuah gambar menunjukkan Suenaga
yang pertama naik ke perahu, di haluan, sementara rekannya menyerang buritan
kapal. Seorang perwira terbaring mati, tenggorokannya putus. Pahlawan kita
sedang menghadapi yang lain, hampir memotong kepalanya, mencengkram rambut
kuncirnya dan memegang tanto-nya.
Pastinya mereka berhasil merebut perahu itu, karena
sebuah ilustrasi sesudahnya memperlihatkan Suenaga membawa dua kepala. Ketika
kembali ke pantai sembari membawa hadiahnya yang mengerikan, ia melaporkan pada
komandannya, Gota Goro yang (setidaknya menurut penuturan Suenaga) lebih
mengagumi keberanian bawahannya ini ketimbang mencela ketidakpatuhan Suenaga.
“Tanpa perahumu sendiri, kau berulang kali berbohong agar bisa turut bertempur.
Kau benar-benar lelaki paling bandel yang pernah ada!”
(Dikutip dari: John
Man, SAMURAI : Jalan Kehormatan Sang Pejuang Terakhir (Bab I, Hal 25-29))=>
dengan sedikit penyesuaian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar