Cari Blog Ini

Jumat, 18 September 2015

SAMURAI TALE: Takezaki Suenaga



Takezaki Suenaga

            Sebuah contoh yang baik tentang cara seorang Samurai  “mengangkat namanya” ialah dengan mempertontonkan keberanian menghadapi kematian yang terjadi saat dua kali invasi Mongol pada 1274 dan 1281, dua peristiwa yang tiada duanya mengorbankan jiwa bangsa Jepang, karena beberapa alasan. Orang Mongol bertarung secara kotor, menggunakan granat peledak yang dilemparkan dengan katapel dan sama sekali tidak mempedulikan samurai yang mengharapkan musuh yang pantas untuk terlibat dalam pertarungan tunggal. Lawan yang mengerikan ini seharusnya sudah menyapu habis para samurai. Namun tidak karena dua keberuntungan, dua kali serangan badai yang segera dianggap bangsa Jepang sebagai campur tangan Ilahi.
            Menghadang kedua pendaratan besar-besaran armada Mongol-China di Teluk Hakata di Jepang barat daya, ialah seorang prajurit muda dari Higo (Sekarang wilayah Kumamoto, tepat di sebelah utara Satsuma, dan tidak jauh dari teluk Hakata). Di kemudian hari, dia menggunakan sebagian kekayaan yang ia kumpulkan untuk membiayai serangkaian lukisan yang mencatat tindakan heroiknya. Lukisan-lukisan ini kemudian disatukan, bersama dengan kumpulan surat, doa, maklumat, dan laporan pertemuan yang berperan sebagai penjelasan terhadap lukisan. Semua itu disusun hingga menjadi sesuatu yang disebut “Gulungan Penyerbuan” (Invasion Scrolls).
Namanya Takezaki Suenaga, dan inilah ceritanya yang penuh kesombongan.
            Berusia 29 tahun saat invasi 1274, Suenaga selamat dari beberapa perkelahian kecil ketika bangsa Mongol berhasil menerobos garis pantai dan maju beberapa mil ke pedalaman sebelum badai yang kian dekat memaksa mereka mundur ke perahu mereka. Tujuh tahun kemudian ia kembali, dan tidak sabar membuktikan diri lagi. Kali ini bangsa Jepang lebih siap, dengan membangun tembok sepanjang teluk Hakata yang mungkin cukup untuk menahan bangsa Mongol hanya sampai di pantai. Suenaga tiba di pantai menunggang kuda lengkap dengan pakaian kebesarannya, tapi musuh masuh berada jauh di lautan. Ia ingin sekali menghabisi mereka. Tanpa minat sama sekali untuk berlaku sebagai anggota tim dan dengan ketidakpedulian yang megagumkan terhadap perintah, seluruh perhatiannya terpusat pada tindakan gagah berani tanpa mengacuhkan orang lain.
“Aku tidak bisa bertarung dengan mereka pada masa genting ini tanpa kapal!”teriaknya.
            Komandannya, Gota Goro, terlihat acuh tak acuh terhadap kekecewaannya. “Kalau kau tidak punya kapal, tidak ada yang bisa dilakukan.”
            Bagaimanapun, Suenaga bukanlah satu satunya yang tidak sabar, dan seorang prajurit yang juga bersemangat berkata,”Mari kita cari sebuah kapal yang baik diantara kapal-kapal rusak di pelabuhan dan mengusir para perompak itu!”
“Benar.”, jawab Suenaga. “Para tentara itu pasti paskan infanteri dan perahu mereka pasti layak berlayar. Aku ingin menghabisi setidaknya satu orang dari mereka!”
            Jadi, bersama dua orang teman, Suenaga mencari sebuah perahu untuk mengantarkan mereka kepada para penyerbu itu. Namun mereka tidak menemukan perahu dan hamper menyerah hingga sebuah perahu perang Jepang muncul. Perahu itu tidak terlalu besar, panjangnya hanya sekitar delapan meter, dan dengan sepuluh atau sebelas orang sudah berada di dalamnya.Jadi, meskipun berguna untuk berputar putar di teluk, tapi tidak akan banyak berguna di laut terbuka. Gota Goro mengenalinya sebagai milik Adachi Yasumori, seorang pejabat senior, dan mengirim Suenaga dan temannya sebagai utusan. Mereka mendayung dalam sebuah sampan kecil, dan ketika sampai dalam, jarak pendengaran, Suenaga yang berdiri terhuyung di haluan, berteriak bahwa ia mendapat perintah untuk menaiki perahu berikutnya dan bertempur. Kemudian tanpa menunggu izin, ia meompat ke perahu perang itu, membuat marah sang kapten kapal,Kotabe yang menyuruhnya pergi.
“Ini perahu Adachi! Hanya anggota pasukannya yang dapat menaiki kapal ini! Keluar dari perahu ini!”
            Suenaga sedang tidak ingin patuh,”Dalam hal penting seperti ini aku ingin membantu tuanku. Karena baru saja sampai di perahu ini, aku tidak akan turun dan menunggu perahu lain yang mugkin saja tidak pernah datang.”
            Tetapi sang kapten bersikeras,”Adalah suatu penghinaan jika kau tidak meninggalkan kapal saat kau diperintahkan pergi.”
            Tak diragukan lagi sembari bergumam penuh kemarahan, Suenaga mengalah, kembali ke sampan kecilnya, dan mendayung bersama dua rekannya. Tak lama kemudian mereka berpapasan dengan perahu perang yang lain, kali ini milik seorang pejabat bernama Takamasa. Sekali kagi Suenaga menjalankan sampannya. Kali ini Suenaga tidak mebuang-buang waktu untuk berdebat tapi langsung berbohong.
“Aku sedang melaksanakan perintah rahasia. Biarkan aku naik ke perahu.”
            Teriakan datang dari perhau Takamasa: Kau tidak mendapat perintah! Pergi dari sini! Tidak ada tempat untuk kalian semua!
            Dengan tak tahu malu Suenaga mengulangi permintaannya,”Karena aku prajurit berpangkat tinggi,” ia membual. “Biarkan aku sendiri yang naik ke perahumu.”
            Tipuannya itu berhasil,”Kami sedang berangkat untuk bertempur,” terdengar jawaban jengkel. “Mengapa kau harus ribut-ribut? Ayo naiklah!”
            Dia tak perlu diminta dua kali. Tidak hanya meninggalkan dua rekannya, dia mengambil pelindung tulang kering milik salah satu dari mereka untuk dijadikan helm darurat. Ia mengabaikan teriakan marah mereka. “Jalan busur dan panah adalah melakukan apa yang layak mendapat perhargaan!” demikian ia menjelaskan. Perhatikan, bukan ‘Jalan Pedang’, sikapnya masih dikendalikan oleh busur dan tanto, belati. “Tanpa seorang pengikut pun aku siap menghadapi musuh.”
            Kini ia mulai menasihati Takamasa, mendesaknya untuk menggunakan kait pengikat untuk medekati musuh. Mereka tidak akan menyerah sampai kita menaiki kapal mereka, debatnya,”Setelah kita mengait mereka, tikam mereka dengan menusuk ke tempat persendian di baju zirah mereka.” Awak kapal Takamasa tidak bersenjata lengkap. Begitu juga Suenaga, dengan helm daruratnya itu. Tapi hal ini tidak menghentikan barang sedikit pun. Bersama lima rekan barunyaia menemukan sampan lain yang lebar dan menyerang salah satu kapal Mongol yang berukuran kecil, sekitar sepuluh meter panjangnya, memuat tujuh awak kapal Mongol dan sepasang perwira China. Sebuah gambar menunjukkan Suenaga yang pertama naik ke perahu, di haluan, sementara rekannya menyerang buritan kapal. Seorang perwira terbaring mati, tenggorokannya putus. Pahlawan kita sedang menghadapi yang lain, hampir memotong kepalanya, mencengkram rambut kuncirnya dan memegang tanto-nya.
            Pastinya mereka berhasil merebut perahu itu, karena sebuah ilustrasi sesudahnya memperlihatkan Suenaga membawa dua kepala. Ketika kembali ke pantai sembari membawa hadiahnya yang mengerikan, ia melaporkan pada komandannya, Gota Goro yang (setidaknya menurut penuturan Suenaga) lebih mengagumi keberanian bawahannya ini ketimbang mencela ketidakpatuhan Suenaga. “Tanpa perahumu sendiri, kau berulang kali berbohong agar bisa turut bertempur. Kau benar-benar lelaki paling bandel yang pernah ada!”

(Dikutip dari: John Man, SAMURAI : Jalan Kehormatan Sang Pejuang Terakhir (Bab I, Hal 25-29))=> dengan sedikit penyesuaian.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar